Ijin share renungan lain yah…
Ini adalah kisah yang diceritakan oleh temanku, Diana:
Ayahnya adalah seorang pedagang yang membuka took obat Herbal. Suatu siang di satu kesempatan, datang seorang biksu meminta derma. Katanya: untuk membantu biaya percetakan buku-buku dharma.
Kebetulan ayah Diana seorang penganut ajaran Budha juga, jadi diberikannya Rp 20.000, <hanya segitu karna ayahnya sebenarnya curiga juga jangan-jangan ini biksu gadungan>. Biksu itu berterima kasih lalu pergi, ia menyeberang menuju ruko seberang <dengan misi yang sama pastinya>, dan gelagatnya diperhatikan oleh Tina, karyawan mereka.
Rupanya di ruko seberang si biksu tidak mendapat sumbangan, ruko kedua juga tidak, dan dalam langkah menuju ruko ketiga, seorang pengemis datang dari arah berlawanan, pengemis yang kumal, kurus dan hitam, yang misinya sama dengan si biksu yaitu meminta-minta. Pengemis itu pasti melihat biksu tersebut karena arah jalannya memang mengarah ke sana, dan dia juga tidak mengulurkan kaleng kepada biksu itu, TETAPI, biksu itu menghentikan dia dan tebak apa yang dilakukannya? Ya, dia memberikan lembaran Rp 20.000,- yang diyakini oleh Tina sebagai uang yang tadinya diberikan oleh majikannya!
Situasi ini menarik karena si biksu member tanpa diminta, bahkan ia tidak ragu memberikan Rp 20.000,- yang mungkin saja merupakan biaya untuk mencetak 1 atau 2 buku dharma. Siapa tahu 2 buku itu bisa mengubah jalan hidup seseorang atau malah lebih. Tapi terlepas dari itu, si biksu juga pastinya tahu kalau meminta sumbangan itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Berapa banyak yang bersedia memberikan lembaran Rp 20.000,-? Mungkin ayah Diana adalah satu-satunya. Mungkin… Tapi di mata biksu itu, si pengemis lebih membutuhkannya saat itu. Makanya dia rela memberikan uang tersebut.
Saat Diana mengisahkannya, aku merenungkannya dan akhirnya mengerti mengapa Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat. Ia melanggar aturan tersebut bukan karena tidak hormat, tapi di mata Yesus, saat itu, keselamatan jauh lebih penting.
Ya, yang paling berharga adalah sekarang, saat ini, detik ini. Bukan masa lalu yang sudah jadi sejarah, bukan juga masa depan yang masih misteri.
Saya ingat suatu kali saya sedang berhenti di lampu merah, ada seorang anak lelaki yang kakinya bunting sebelah dan salah satu tangannya lebih pendek, meminta sumbangan kepada orang-orang yang sedang berhenti termasuk saya, tapi saat itu saya melambai. Tak lama kemudian saya menyesal, tapi waktu itu dia sudah jauh di belakang dan saya pikir, ah nanti pulang lewat sini lagi ah, biar bisa ngasi dia. Tapi apa yang terjadi, saat saya kembali, anak itu sudah tidak ada di sana lagi. Saya terlambat. Dan saya benar-benar menyesal.
Pertanyaannya sekarang: Seberapa sering kita melewatkan “saat ini”? Kita mendengar orang membutuhkan sumbangan, kita medengar orang butuh darah kita, kita melihat kemalangan terjadi di hadapan kita, kita diajak berbuat sesuatu untuk kebaikan—Saat ini. Dan kita melewatkannya. Atau kita menundanya, atau sekedar mengatakan: “Kasihan ya…” atau “Malang sekali dia…” atau “Semoga Tuhan Yesus menyembuhkannya…” atau berbagai harapan, doa, simpati dan kata-kata penghiburan yang panjang. Jangan-jangan justru itu yang lebih sering kita lakukan: Talk only alias ngomong doang.
Tanpa diminta, Yesus membangkitkan seorang pemuda karena tergerak belas kasihan kepada ibunya yang janda dan sebatang kara. Tanpa diminta, Yesus mengubah air menjadi anggur pada pesta pernikahan di Kana. Tanpa diminta, Yesus memberikan pengampunan dosa kepada seorang wanita dursila yang menyeka kakinya dengan air mata dan rambutnya. Tanpa diminta, Yesus member makan lebih dari 5000orang. Yang paling dahsyat: Ia memberikan tubuh dan darahnya sebagai pemulih dosa-dosa kita, sekali lagi—tanpa manusia minta!!! Dan semua itu dikarenakan “Belas kasihan”.
Dan kita yang mendapat kehormatan menyandang status sebagai anak Tuhan, melihat kemalangan orang, mestinya kita tidak lagi sekedar berkata: “Kasihan yaa…” atau seperti kasus saya dengan pengemis cacat, “Nanti aza ah…” atau lebih parahnya: cuek total.
Alkitab menyinggung: Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya sama dengan iman yang mati. So jangan bangga jadi anak Tuhan kalau yang kita punya adalah iman yang mati. Contohlah biksu dalam cerita tadi, yang boleh dibilang dia tidak berbeda jauh dengan orang samaria yang baik hati ^_^
Guru pembimbing spiritualku <sekarang almarhum> suka berkata begini dalam kelasnya: “Bungkam khotbah-khotbah panjang yang berbuih-buih itu dengan cara paling ampuh: Lewat perbuatan kasih yang nyata.” Dalam hal ini perkataan beliau memang tepat. Kita adalah terang dunia. Dengan apalagi kita menerangi dunia kalau bukan dengan perbuatan cinta kasih?
Semoga kisah pengalaman ayah Diana dengan si biksu dan kisah pengalaman saya dengan pengemis cacat bisa memberikan sesuatu yang baik untuk kita semua. Tuhan Yesus memberkati :)
[ https://www.facebook.com/linx.rita ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar