Suatu hari saya naik angkutan kota dari Darmaga menuju Terminal Baranangsiang, Bogor. Pengemudi angkot itu seorang anak muda. Di dalam angkot duduk 7 penumpang, termasuk saya. Masih ada 5 kursi yang belum terisi.
Di tengah jalan, angkot-angkot saling menyalip untuk berebut penumpang. Tapi ada pemandangan aneh. Di depan angkot yang kami tumpangi, ada seorang ibu dengan 3 orang anak remaja berdiri di tepi jalan. Tiap ada angkot yang berhenti di hadapannya, dari jauh kami bisa melihat si ibu berbicara kepada supir angkot, lalu angkot itu melaju kembali. Kejadian ini terulang beberapa kali.
Ketika angkot yang kami tumpangi berhenti, si ibu bertanya, “Dik, lewat terminal bis ya?” Supir tentu menjawab, “Ya.” Yang aneh ibu tidak segera naik. Ia bilang, “Tapi saya dan ketiga anak saya tidak punya ongkos.” Sambil tersenyum, supir itu menjawab, “Tidak apa-apa, Bu, naik saja.” Ketika si ibu tampak ragu-ragu, supir mengulangi perkataannya, “Ayo, Bu, naik saja, tidak apa-apa.”
Saya terpesona dengan kebaikan supir angkot yang masih muda itu, di saat jam sibuk dan angkot lain saling berlomba untuk mencari penumpang, tapi si supir muda ini merelakan 4 kursi penumpangnya untuk ibu dan anak-anaknya.
Ketika sampai di terminal bis, 4 penumpang gratisan ini turun. Si ibu mengucapkan terima kasih kepada supir. Di belakang ibu itu, seorang penumpang pria turun, lalu membayar dengan uang Rp 20.000,-.
Ketika supir hendak memberi kembalian (ongkos angkot hanya Rp 4.000,-), pria ini bilang bahwa uang itu untuk ongkos dirinya dan 4 penumpang gratisan tadi. “Terus jadi orang baik ya, Dik,” kata pria tersebut kepada sopir angkot muda itu.
Sore itu saya benar-benar dibuat kagum dengan kebaikan-kebaikan kecil yang saya lihat. Seorang Ibu miskin yang jujur, seorang supir yang baik hati, dan seorang penumpang yang budiman. Mereka saling mendukung untuk kebaikan.
Andai separuh saja bangsa kita seperti ini, maka dunia akan takluk oleh kebaikan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar