Anak lelaki itu duduk membungkuk. Tatapannya menantang dan tangannya di kepalnya. “Ayo, berikan pada saya.”
Sang kepala sekolah melihat ke bawah, ke arah si pemberontak muda ini. “Sudah sesering apa kamu berada di sini?”
Anak lelaki itu mendengus menantang. “Kelihatannya belum cukup sering.”
Kepala sekolah melihat anak itu dengan tatapan aneh. “Dan tiap kali kamu ke sini, kamu selalu dihukum. Benar, bukan?”
“Ya, saya sudah dihukum berkali-kali, jika itu yang Bapak maksud.”
Dia membusungkan dadanya yang kecil. “Ayo, saya bisa menghadapi hukuman apapun yang Bapak berikan. Saya selalu mampu.”
“Dan tidak pernah sekalipun pikiran mengenai hukuman yang akan
menantimu terlintas di kepalamu tiap kali kamu ingin melanggar peraturan
lagi, benar tidak?”
“Ya. Saya selalu melakukan apa yang ingin saya lakukan. Tidak ada satu pun yang bisa kalian lakukan untuk menyetop saya.”
Kepala sekolah menoleh kepada guru anak itu yang berdiri di sampingnya. “Apa yang dia lakukan kali ini?”
“Berkelahi. Dia menarik si Tommy kecil dan memasukkan kepalanya ke kotak pasir.”
Kepala sekolah menoleh kembali ke arah si anak. “Mengapa kamu lakukan
itu? Apa yang diperbuat si kecil Tommy kepadamu sampai kau lakukan hal
itu?”
“Dia tidak berbuat apa-apa. Saya hanya tidak suka melihat cara dia
memandang saya, sama seperti saya tidak suka cara Bapak melihat saya!
Dan jika saya pikir saya dapat melakukannya, saya akan memasukkan kepala
anda ke sesuatu juga.”
Si guru menjadi tegang dan mulai bangkit berdiri saat kepala sekolah menatapnya sejenak, melarangnya untuk bertindak. Kepala Sekolah berpikir sejenak sambil melihat anak itu. Lalu beliau
berkata pelan, “Hari ini, anak muda, kamu harus belajar mengenai
kemurahan.”
“Kemurahan? Bukankah itu yang kalian orang tua lakukan sebelum makan? Saya tidak butuh kemurahan apapun.”
“Oh, kamu butuh.” Kepala Sekolah mempelajari wajah anak kecil itu dan berbisik. “Oh ya, kamu benar-benar butuh kemurahan.”
Si anak terus saja memandang marah saat kepala sekolah melanjutkan,
“Definisi singkat ‘Kemurahan’ adalah ‘Kebaikan yang tidak sepantasnya
diberikan’. Kamu tidak pantas untuk mendapatkannya, hal itu adalah
hadiah dan selalu diberikan dengan cuma-cuma. ‘Kemurahan’ berarti kamu
tidak akan mendapat apa yang sepantasnya kamu terima.”
Anak kecil itu menampakkan kesan bingung. “Bapak tidak akan memukul
saya? Bapak akan membiarkan saya pergi dari sini begitu saja?”
Kepala sekolah memandang anak yang pantang menyerah itu. “Ya, saya akan mengijinkan kamu pulang begitu saja.”
Si anak menyelidiki wajah kepala sekolah, “Tidak ada hukuman sama
sekali? Meskipun saya sudah menyakiti si Tommy dan memasukkan kepalanya
ke kotak pasir?”
“Oh, hukuman pasti ada. Apa yang kamu lakukan itu salah dan perbuatan
kita selalu ada konsekuensinya. Hukumannya ada. ‘Kemurahan’ bukan
alasan untuk melakukan hal yang salah.”
“Tuh kan,” dengus si anak saat dia menyerahkan tangannya untuk dipukul. “Ayo, lakukan saja sekarang.”
Kepala sekolah mengangguk kepada guru. “Tolong bawa ke sini ikat pinggangnya.”
Si guru memberikan ikat pinggang kepada kepala sekolah, yang kemudian
melipatnya dengan hati-hati, dan menyerahkannya kembali ke si guru. Dia
memandang si anak saat berkata, “Hitung pukulan-pukulannya.”
Dia keluar dari belakang mejanya dan berjalan lurus ke arah si anak.
Dengan lembut ditekuknya tangan si anak yang terjulur ke depan untuk
menunggu pukulan-pukulan tersebut. Lalu dia berbalik ke arah si guru
dengan menjulurkan tangannya sendiri. Satu kata keluar dari mulutnya
dengan pelan, “Mulai.”
Ikat pinggang itu melecut tangan kepala sekolah yang terjulur. Krek!
Anak kecil itu meloncat 2 meter ke udara. Wajahnya diliputi kekejutan.
“Satu,” bisiknya. Krek!
“Dua.” Suaranya naik satu oktaf. Krek!
“Tiga.” Dia tidak dapat mempercayai hal ini. Krek!
“Empat.” Air mata mulai menggenangi mata si pemberontak cilik.
“OK, stop! Sudah cukup!” Krek! Ikat pinggang melecut tangan yang saat itu sudah mati rasa. Krek!
Si anak meringis tiap kali lecutan menghantam, air mata kini mengaliri wajahnya. Krek! Krek!
“Tolong berhenti,” ratap si bekas pemberontak, “Stop! Saya yang
lakukan kenakalan itu, saya yang harusnya dilecuti. Stop! Tolong
hentikan.”
Tetap saja lecutan demi lecutan datang, Krek! Krek! Yang satu menyusul yang sebelumnya.
Akhirnya berakhir juga semuanya.
Kepala sekolah berdiri dengan kening yang berkilauan oleh keringat
dan butiran keringat menetes dari wajahnya. Dia berlutut dengan
perlahan-lahan. Dia mempelajari wajah si anak sesaat, lalu mengulurkan
tangannya yang bengkak untuk mengelus wajah si anak yang tengah
menangis. Lalu dia mengucapkan kata ini dengan lembut, “Kemurahan.”
Itulah yang Yesus telah perbuat untuk kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar