Rabu, 10 Juli 2013

Kebencian Yang Berujung Maut

Di awal perkawinan Williem Leo dan Poppy, semuanya berjalan dengan baik layaknya sebuah rumah tangga yang berjalan normal. Namun tidak sampai setahun kemudian, kehidupan rumah tangga mereka mulai diterpa badai. Poppy dengan perangainya yang kasar sering membuat Williem berang.

Setiap hari rumah tangga mereka bagai neraka, selalu dihiasi dengan pertengkaran. Bahkan saat Williem sedang mengendarai mobil saat mereka sedang pergi bersama-sama sering diwarnai dengan pertengkaran yang hebat.

Kehadiran seorang anak laki-laki buah cinta mereka tidak mampu meredam amarah yang ada di antara Williem dan Poppy. Rumah tangga mereka semakin bergejolak. “Saya benar-benar tidak peduli terhadap siapapun, bahkan terhadap Williem, suami saya. Apalagi kalau saya sedang mengurus anak kami. Sampai untuk makan suami pun saya tidak pernah peduli,” ujar Poppy.

Sungguh ironis, Poppy tidak pernah memberikan kesempatan bagi Williem untuk dekat dengan anaknya. Kadang kalau Williem pulang kantor dan ingin bermain dengan anaknya, maka Poppy akan melarangnya dengan kasar.Poppy tidak ingin anak laki-lakinya dekat dengan Williem, padahal ia adalah ayah kandungnya. Hingga suatu hari, pertengkaran hebat pun tak dapat terhindarkan lagi.

Pagi itu sebelum Williem berangkat kerja, Poppy menyuruh Williem untuk mencetak foto-foto anak mereka. Poppy telah memberi tanda foto mana saja yang akan dicetak. Sepulangnya dari kantor, Williem memberikan foto yang dicetaknya kepada Poppy. Tiba-tiba dengan suara keras Poppy membentak dan memaki Williem. Menurut Poppy semua foto yang dicetak Williem salah, karena tidak sesuai dengan foto yang sudah Poppy tandai. Pertengkaran sengit pun pecah dan tanpa sadar sebuah pukulan hebat mendarat tepat di wajah Poppy. Ada perasaan menyesal dan rasa bersalah dalam diri Williem setelah melakukan perbuatan tersebut.

Akibat perbuatan Williem, Poppy pun siap mengakhiri biduk rumah tangga mereka. Tekad Poppy sudah bulat untuk bercerai dan meninggalkan Williem. Tetapi Williem mempunyai prinsip dan bertekad untuk tidak bercerai dari istrinya. “Hati kecil saya sebenarnya sayang dengannya, tidak mungkin saya menyakiti orang yang saya cintai,” ujar Williem dengan sedih.

Dengan berbagai daya upaya, akhirnya Williem berhasil membatalkan niat Poppy yang ingin meninggalkannya dan mereka kembali seperti semula. Namun keharmonisan itu hanya bertahan seumur jagung. Pertengkaran kembali meliputi rumah tangga Williem dan Poppy. Saat mereka mendapat anak kedua, sikap dan perilaku Poppy semakin tidak pantas bagi seorang ibu. Setiap hari ada cubitan, pukulan, dan omelan yang dilakukan Poppy kepada anak perempuan mereka yang masih kecil. “Perlakuan istri saya saat itu tidak manusiawi, bahkan makin lama makin brutal,” ujar Williem.

Ternyata masa kecil yang kelabu selalu membayangi kehidupan Poppy. Belaian kasih sayang seorang ibu hanyalah sebuah mimpi baginya. Orang tua Poppy menginginkan seorang anak laki-laki, namun yang lahir adalah dirinya, seorang anak perempuan. “Mama saya adalah seorang yang keras. Saya tidak pernah mengenal sosok mama yang sebenarnya dan tidak pernah mendapatkan kasih sayang darinya sampai beliau meninggal. Makanya, saya memperlakukan Jacklien, anak perempuan saya, sama persis dengan apa yang Mama lakukan kepada saya,” ujar Poppy sambil menangis. Walaupun Williem memprotes tindakan Poppy, itu malah membuat Poppy semakin keras menyiksa Jacklien, anak perempuan mereka.

Suatu hari Jacklien jatuh dari tempat tidur dan mengalami luka dalam yang cukup parah. Poppy pun membawanya ke rumah sakit. Dari hasil pemeriksan dokter, ternyata luka yang dialami Jacklien sangat parah dan harapan Jacklien untuk dapat bertahan hidup menurut perkiraan dokter tinggal 20% saja. Betapa terkejutnya Williem dan Poppy.

Dengan rasa benci yang amat sangat, Williem menatap Poppy. Bulir-bulir air mata Poppy pun mengalir perlahan, nalurinya sebagai seorang ibu tak mungkin diingkari. Perasaan takut dan menyesal melingkupi Poppy, dan dari dalam hatinya yang paling dalam ia mohon ampun kepada Tuhan atas segala perbuatannya.

Tiba-tiba dalam pikiran Poppy terlintas kata, ‘Walaupun dosamu merah seperti darah, tetapi bisa diputihkan seputih salju’, dan perkataan ini yang menguatkan Poppy mengatasi perasaan bersalah yang mendera hatinya. Saat itulah Poppy merasakan bahwa ia tidak ada apa-apanya dan ia sangat membutuhkan Tuhan.

Sementara itu Williem sambil menangis mulai menyalahkan Tuhan karena ia merasa Tuhan tidak adil kepadanya. Namun dalam terang kasih Tuhan, Williem dan Poppy terdorong untuk berdoa bersama. Mereka memohon kepada Tuhan agar anak mereka disembuhkan. Setelah mereka selesai berdoa, Jacklien tersadar dari komanya. Saat itu juga Poppy membuat komitmen untuk mengasihi Jacklien.

Setelah anak mereka sembuh, Poppy mengikuti suatu ibadah dan ia mengalami terobosan dalam hidupnya. Poppy kembali membuat komitmen untuk mengampuni Mamanya. Begitu juga dengan Williem, ia merasakan adanya suatu pemulihan di antara mereka. Apalagi ketika mereka berdua mengikuti sebuah acara rohani. Saat itu mereka mengalami sukacita yang begitu berlimpah dan sinar kebahagiaan pun mulai terbit atas kehidupan keluarga mereka.

“Akhirnya saya menyadari bahwa saya hidup itu butuh Yesus. Tanpa Dia, kami sekeluarga tidak ada apa-apanya,” ujar Williem menutup kesaksiannya.

(Kisah ini sudah ditayangkan pada 20 Oktober 2008 dalam acara Solusi Life di O’Channel).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar