Jumat, 09 Agustus 2013

Melihat Masa Depan

Diana melambaikan tangan pada Alan dan Mimi, kemudian meneruskan langkahnya menuju rumahnya sendiri. Gadis periang itu baru saja mengikuti Persekutuan Doa Remaja di gereja. Sama seperti rumah Alan, rumah Diana juga ruko. Hanya kalau di rumahnya, orang tua Alan berjualan kebutuhan pokok, sedangkan di rumahnya dijual spare part motor dan mobil. Jaraknya tak jauh kok, hanya sekitar dua blok. Seperti biasanya, Diana mengisi waktu perjalanan menuju ke rumahnya dengan bercakap-cakap dengan Tuhan.

Neneknya yang telah meninggal dua tahun yang lalu mengajari Diana untuk selalu bercakap-cakap dengan Tuhan. Saat itu Diana sedang kesal pada mamanya karena diberi tanggung jawab mengurus rumah sewaktu pembantu mereka pulang ke kampung selama dua minggu. Diana harus mencuci baju, piring, gelas, dan beres-beres rumah. Diana yang merasa diperlakukan sebagai pembantu menjadi bersungut-sungut.

Neneknya memperhatikan dan ketika ia mengeluh jadi tak punya waktu untuk bersekutu dengan Tuhan, nenek menegurnya. “Kamu salah, Putri kecil…” Neneknya menggunakan panggilan sayangnya. “Justru dengan semua pekerjaan inilah kamu mempunyai lebih banyak waktu untuk bersekutu dengan Tuhan.”

Jelas Diana tidak terima kata-kata neneknya itu. “Apakah yang dikerjakan hatimu ketika mencuci piring?” Nenek meneruskan.

“Eh? Apa maksud nenek?”

“Hatimu bersungut-sungut bukan? Dan kamu tahu betul kalau bersungut-sungut itu dosa. Lalu, kenapa kamu melakukannya?”

Wajah Diana agak memerah karena menyadari semua perkataan neneknya itu betul.

“Nenek punya satu resep agar kamu tidak lagi bersungut-sungut. Bahkan nenek yakin kamu justru makin senang menegrjakan semua pekerjaan itu. Resep itu juga membuatmu makin dekat dengan Tuhan.”

“Apa resepnya, Nek?” Diana mulai penasaran.

“Sewaktu tangan dan tubuhmu sedang bekerja, pakailah hatimu untuk memuji Tuhan atau kamu bisa bercakap-cakap dengan Tuhan. Ceritakanlah kekesalanmu atau kebahagianmu. Ceritakanlah juga tentang kegiatanmu, rencana-rencanamu. Pokoknya apa saja. Nenek yakin, Tuhan sangat senang kalau kamu mau berbagi rahasia-rahasia hatimu dengan Tuhan.”

Diana merenungkan apa yang dikatakan neneknya lalu mencoba melakukannya. Awalnya memang sangat sulit, tapi lama-lama Diana jadi biasa ngobrol apa saja dengan Tuhan dan yakin Tuhan tidak kesal karena kecerewetannya. Bahkan setelah nenek meninggal setahun kemudian, ia terus bergaul dengan Tuhan, bahkan resep dari neneknya ini dibagi-bagikan pada teman-temannya di gereja.

Dua rumah lagi sampailah di rumahnya sendiri, tapi tiba-tiba mata Diana menangkap sesosok tubuh yang hendak menyeberang jalan sementara dari arah depan ada truk yang melaju cukup kencang. Tanpa berpikir lagi ia langsung berlari dan mendorong orang yang hendak menyebrang itu sampai tersusuk di pinggir jalan. Diana sendiri tak sempet lari. Truk sudah terlalu dekat.

Diana bisa melihat ibunya yang menangis dalam peluk ayahnya. Dalam ruangan rumah sakit yang kecil itu, begitu banyak orang. Ada Rudi dan Toni, anggota tim musik gereja. Ada bapak dan ibu Gembala. Semuanya berduka cita dengan kecelakaan tragis yang menimpa Diana di depan rumahnya sendiri.

“Orang yang kutolong di mana?” tanya Diana tanpa menoleh pada malaikat yang berada di sisinya.

“Dia merasa ketakutan sehingga melarikan diri dari tempat kejadian. Tak seorang pun yang tahu kalau kamu meninggal karena menyelamatkan seseorang,” jawab si malaikat. “Apakah kamu benar-benar ingin lupakan saja segala urusan duniamu dan kita meneruskan perjalanan kita?” tanya malaikat itu sambil tersenyum.

“Aku ingin tahu, lebih baik beri tahu apa yang ingin kuketahui,” jawab Diana dalam hatinya.

“Kalau begitu peganglah tanganku lagi, kita lihat orang itu.”

Diana memegang tangan yang terulur itu dan dalam sekejap sekeliling mereka berubah. Dari rumah sakit, ke sebuah kamar yang luas yang menjadi bagian dari sebuah rumah yang sangat mewah. Di atas tempat tidur nampak sesosok tubuh yang segera dikenali oleh Diana.

“Dia yang kutolong tadi!”

“Benar.”

“Tapi, apa yang terjadi padanya? Kenapa ia gemetaran seperti itu?”

“Dia seorang morfinis dan ia sedang ketagihan dan tidak ada narkoba yang dituntut tubuhnya.”

“Apa???” jerit Diana tertahan. “Jadi, orang yang kutolong tadi pemakai narkoba?”

“Ya,” jawab malaikat itu membenarkan. “Ketika kamu menolongnya tadi, ia sedang mengalami putus obat. Ditambah lagi mabuk karena baru keluar dari klub malam.”

“Aku mati untuk orang seperti itu?”

“Sebenarnya yang harus mati itu adalah dia. Si jahat telah mendorongnya sedemikian jauh dari Yang Maha Baik, hingga tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Hanya saja kamu muncul tepat pada waktunya dan menyelamatkannya dari kematian dan menunda hukuman abadi padanya.”

“Maksudmu? Ia memang sudah seharusnya meninggal tertabrak truk dan masuk neraka?”

“Ya, kalau kamu tidak bertindak menolongnya dengan mengorbankan nyawamu sendiri.”

Tiba-tiba Diana merasa sekelilingnya terasa gelap dan mencekam.

“Jangan Diana. Jangan memberi kesempatan pada yang jahat untuk menguasaimu!” ujar malaikat itu agak khawatir.

“Bagaimana aku tidak kesal kalau aku mengorbankan nyawaku hanya untuk orang yang selayaknya mati dan masuk neraka!”

Kegelapan makin nyata dan sosok malaikat itu makin memudar. Tapi, tiba-tiba ada cahaya dari langit-langit kamar menyinari sosok itu. Dalam cahaya itu ada sesosok malaikat. Nampak malaikat itu sangat bersedih.

“Siapakah dia?”

“Dia adalah malaikat penjaga orang itu. Malaikat itulah yang berdoa baginya sejak ia diserahkan kepada Tuhan oleh ibunya sewaktu ia masih bayi.”

“Kenapa ia nampak begitu sedih?”

“Sebab anak yang harus diajganya malah menolakNya dan tidak mau dijaga oleh malaikat itu.”

Diana tercenung. Dalam hatinya ia mulai lagi berbicara kepada Tuhan seperti ia lakukan sewaktu ia masih hidup. Kenapa Tuhan menampakkan wujud malaikat penjaga itu kepadaku? Apakah yang Tuhan ingin aku lakukan? Lama Diana bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya. Sampai akhirnya sebuah kesimpulan tercetus dengan suara keras. “Inilah rencana Tuhan bagiku. Aku diberi kesempatan untuk meniru teladan Tuhan Yesus yang rela mati di kayu salib, bukan untuk orang-orang benar, tapi untuk orang-orang berdosa. Seperti yang dilakukan saat ini meskipun tanpa sengaja. Mengorbankan nyawaku untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Memberikan kesempatan sekali lagi kepadanya untuk menemukan Tuhan. Sedangkan aku sendiri bisa pergi kepada Bapa lebih cepat. Meninggalkan dunia agar dunia tidak mecemariku.” Tiba-tiba saja kegelapan yang mengurungnya tadi hilang bercerai-berai.

Sementara sekelilingnya terang-benderang. Nampak malaikat-malaikat tersebut ramah padanya membentuk barisan yang menunjukan jalan kepadanya. Sekali lagi Diana menoleh pada malaikat penjaga orang itu.

“Jangan khawatir. Aku akan membantumu agar Bapa memperhatikan dia. Aku juga tak ingin pengorbananku sia-sia.” Barisan malaikat itu terputus di sebuah gerbang yang begitu indah dan ada cahaya yang begitu terang keluar dari gerbang itu. Anehnya cahaya sekuat itu sama sekali tidak menyakitkan mata yang memandangnya. Yang ada cuma rasa sukacita besar yang ingin dilampiaskan dalam nyanyian syukur dan sorak-sorai.

“Sebelum kamu masuk ke sana, aku akan memberitahumu sesuatu.” Malikat yang menjemput Diana berbicara.

“Apa?”

“Lihatlah di bawah sebentar.”

Diana memandang ke bawah. Betapa terkejutnya ia dengan pemandangan itu. Lalu sebuah rasa syukur keluar dengan sepenuh hati.

“Puji Tuhan. Ia memang Allah yang Maha Luar Biasa.”

“Sekarang masuklah ke sana. Ke tempat yang disediakan bagimu.”

Apakah yang dilihat Diana? Ia melihat masa depan. Orang yang diselamatkan Diana itu sedang dipakai Tuhan dengan luar biasa untuk menyelamatkan lebih banyak lagi jiwa-jiwa baru. Dia berperang demi nama Tuhan Yesus, di dunia gelap narkotika yang pernah mengurungnya. Rencana Tuhan itu sangat ajaib dan tak terjangkau oleh akal manusia. Diana bahagia dengan neneknya dan Tuhan di Surga. Sekarang Diana bisa bercakap-cakap dengan Tuhan secara muka dengan muka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar