Pada hari Minggu pagi tanggal 8 November 1987, seorang pria Irlandia, Gordon Wilson, bersama putrinya yang berusia 28 tahun, Marie, pergi menonton pawai di kota Enniskillen di Irlandia Utara.
Ketika mereka berdiri di samping sebuah dinding batu sembari menantikan kesatuan prajurit dan polisi Inggris berbaris melewati mereka, sebuah bom dari teroris IRA (Irish Republican Army) meledak di belakang mereka. Enam orang tewas seketika karena ledakan itu. Gordon dan putrinya terkubur beberapa meter di bawah tumpukan batu.
Gordon merasakan bahu dan lengannya terluka, tetapi ia tidak dapat bergerak. Kemudian, ia merasakan ada seseorang menyentuh jari-jarinya dengan sangat lembut. Dia merasakan jemari putri tercintanya meraih jemarinya yang terjepit dan memegangnya erat-erat.
“Ini Ayah, kan?” bisik Marie.
“Betul, Marie,” sahut ayahnya.
“Ayah tersayang, aku ingin bicara,” suara Marie tersendat karena dia merintih kesakitan.
“Iya anakku, bicaralah,” jawab ayahnya.
“Ayah, aku belum pernah merasakan sakit seperti ini, aku tidak tahu yang terjadi dengan diriku, tetapi apapun itu aku senang tetap berada di sini bersama ayah di bawah reruntuhan ini. Ayah pernah mengajarkan aku untuk selalu memaafkan orang-orang jahat. Bisakah ayah memaafkan mereka meski aku telah tiada ayah?”
“Iya anakku,” sahut ayahnya dengan sedih.
Gordon mendengar suara-suara samar anaknya merintih kesakitan, kemudian suara yang jauh lebih jelas, yakni teriakan Marie. Ia meremas tangan putrinya kuat-kuat sambil berkali-kali bertanya apakah ia baik-baik saja. Di antara rintih kesakitannya, Marie berkali-kali meyakinkan ayahnya bahwa ia baik-baik saja.
“Ayah, Ayah, apakah Ayah mendengarku? Ingat Ayah, aku sangat mengasihi Ayah,” itulah kata-kata terakhir putrinya yang didengar Gordon.
Empat jam kemudian, setelah mereka akhirnya diselamatkan, Marie meninggal dunia di rumah sakit karena mengalami kerusakan parah di otak dan tulang belakang. Selanjutnya siang itu, seorang wartawan BBC ingin mewawancarai Gordon. Setelah ia menggambarkan apa yang sedang terjadi, wartawan itu bertanya kepada Gordon,
“Bagaimana perasaan Anda terhadap orang yang memasang bom itu?”
Jawabannya sangat mengejutkan.
“Saya tidak membenci mereka,” sahut Gordon. “Saya tidak dendam kepada mereka. Kata-kata yang sengit tidak akan menghidupakan Marie Wilson kembali. Saya akan berdoa malam ini dan setiap malam agar Allah mengampuni mereka.”
Sebagian orang menduga bahwa pernyataan itulah yang akhirnya menenangkan kelompok-kelompok militer yang sebelumnya sangat marah terhadap pengeboman itu, dan hal itu mencegah terjadinya suatu serangan balasan yang berdarah.
Pada bulan berikutnya, banyak orang bertanya kepada Gordon yang pada akhirnya menjadi senator Republik Irlandia tentang bagaimana ia dapat mengampuni tindakan kejam yang didasari kebencian tersebut.
“Hati saya terluka,” ujar Gordon. “Saya telah kehilangan putri saya, tetapi saya tidak marah. Kata-kata terakhir Marie kepada saya, kata-kata kasih, menumbuhkan kasih saya. Saya menerima anugerah Allah untuk mengampuni melalui kekuatan kasihNya bagi saya.”
Selama bertahun-tahun setelah tragedi yang merengut nyawa putrinya dan yang juga nyaris merengut nyawanya sendiri itu, Gordon Wilson bekerja tanpa mengenal lelah untuk memperjuangkan kedamaian dan rekonsiliasi di Irlandia Utara sampai akhir hayatnya.
Gordon Wilson telah mengalami anugerah Allah, kasih, dan pengampunanNya yang melingkupi segalanya. Manakala anugerah menyentuh kehidupan kita, maka kita merasa diampuni dan dibebaskan dari belenggu pada bagian terpenting dalam kehidupan kita, dan kita pun mendapatkan anugerah untuk mengampuni orang lain. Anugerah dan pengampunan semacam itu dapat membawa kedamaian dimana ada perselisihan, membawa pemulihan dimana ada keputusasaan. Anugerah semacam itu dapat mengubah kehidupan kita dan kehidupan orang-orang di sekeliling kita, bahkan mereka yang melukai hati kita untuk selama-lamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar