Selasa, 03 September 2013

Jejak Kaki Yang Bermakna

Alkisah, ada sepasang suami istri yang sangat mengharapkan kehadiran anak. Setelah melalui berbagai macam usaha dan waktu yang lama, akhirnya mereka dikarunia seorang putera yang berparas tampan. Sayangnya, si anak menderita kelainan bawaan yakni penyusutan otot sehingga berdampak pada kaki yang lemah yang tidak cukup kuat untuk menopang tubuh yang bertumbuh.

Kata dokter, “Bapak, ibu, tidak ada cara lain untuk membuat putera Anda kelak bisa berdiri dan berjalan sendiri, yaitu dengan membiarkan dia berjalan dan melakukan segala sesuatunya sendiri. Anda berdua harus tega demi masa depannya. Itu satu-satunya jalan jika kelak ingin melihatnya bisa berjalan sendiri.” Sejak saat itu, dengan penuh sayang dan hati yang pedih, mereka setiap hari harus melihat putera kesayangan bersusah payah belajar berjalan, terjatuh, sakit, kadang terluka hingga menangis dan kemudian harus mulai bangkit dan berjalan lagi. Begitu seterusnya.

Suatu hari, saat si anak berusia 9 tahun, terjadi peristiwa yang cukup tragis. Hari itu, udara begitu dingin, salju turun dengan cukup lebat. Jarak dari rumah ke sekolah kira-kira 1 kilometer. Saat sekolah usai, si anak sangat berharap orang tuanya akan datang menjemput dan membantunya berjalan pulang. Ditunggu-tunggu dengan cemas, hingga sekolah sepi, orangtuanya tak kunjung tiba. Hati anak itu pun dipenuhi dengan kekecewaan, kemarahan dan kebencian.

“Papa Mama kejam, jahat, tidak sayang padaku, membiarkan aku menderita. Aku benci mereka!!” sambil mengertakkan gigi, dia pun berjalan pulang dengan langkah terseok-seok. Jalanan tertutup oleh salju dan itu sangat menyulitkan untuk mengatur langkah kakinya yang lemah. Setapak demi setapak. Berkali-kali dia jatuh, kesakitan, memar dan bahkan berdarah. Setiap kali terjatuh, hatinya semakin sakit dan kebencian kepada orang tuanya makin membara. Tekad di dadanya bulat untuk membenci orangtuanya seumur hidup.

Akhirnya si anak tiba di depan rumah. Saat pintu dibukakan, ayah dan ibunya segera memeluk sambil menangis. “Anakku, kamu hebat sekali! Kami tahu kamu sangat menderita, kami melihat dari jauh setiap langkah dan kejatuhanmu, maafkan ayah dan ibu yang tidak membantumu. Tapi lihatlah ke belakang, bekas tapak kakimu di atas salju, dan itu adalah tapak kakimu sendiri, Nak. Kamu sendiri, berhasil melalui perjalanan sulit hari ini. Ingat Nak, hari-harimu ke depan masih panjang dan tidak mudah, tetapi dengan kemampuanmu hari ini, papa mama yakin dan percaya, kamu akan bisa melaluinya, dengan percaya diri dan tanpa perlu bertopang kepada orang lain.” Si anak pun segera larut dalam tangis bahagia. Karena ternyata orang tuanya bukannya tidak menyayangi, tetapi mereka menunjukkan kasih sayang dengan membiarkan berjalan sendiri menyongsong masa depan yang akan dilaluinya nanti.

Kita sebagai orangtua, ketika anak mengalami kesulitan, cobalah untuk membiarkan mereka berdiri dan menemukan solusi. Biarkan mereka belajar dan berusaha. Justru keberanian untuk menanggung setiap kesulitan yang dihadapinyalah yang akan menjadikan anak kita sebagai pribadi yang tangguh, mantap, percaya diri, dan bertanggung jawab. Hingga kelak, tanpa kita, mereka akan bertumbuh sebagai manusia yang kuat dalam menghadapi problem yang muncul dan bisa menjadi pemenang dalam mengarungi lautan kehidupan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar