“Sifat yang diinginkan pada seseorang ialah kesetiaannya.” (Amsal 19:22a)
Vico begitu menikmati kehidupan yang ia jalani dengan Mery, istrinya. Mery adalah sosok wanita yang sempurna di matanya. Kelembutan hati dan kerajinannya menjadi suatu nilai lebih di dalam diri Mery. Mereka pun dikaruniai empat orang anak sebagai buah cinta mereka. Namun seiring dengan berjalannya waktu, kebahagiaan dalam perjalanan rumah tangga Vico menjadi teruji tatkala Mery menderita suatu penyakit yang akan membawanya pada kematian, karena vonis dokter berkata demikian. Diperkirakan Mery hanya bisa bertahan hidup selama dua tahun lagi.
Penyakit itu membuat Mery begitu frustasi terhadap dirinya sendiri. Ia merasa tidak bisa lagi menjadi seorang istri atau ibu yang baik. Penyakit itu menyebabkan ia hanya bisa berbaring lemah disertai malu, karena kankernya itu pecah dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Hari-hari itu dilalui Mery dengan harapan hidup yang semakin memudar. Dalam benaknya ia selalu berpikir, “Siapa pria yang bisa bertahan menghadapi wanita seperti aku ini?”
Namun, pada kenyataannya semua tidak berjalan sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran Mery. Kehangatan cinta kasih senantiasa meliputi keluarganya yang sederhana. Makan malam selalu berlangsung dengan kebersamaan seperti saat-saat Mery belum sakit.
Kasih sayang Vico kepadanya pun tetap tidak berubah. Walau tak dapat dipungkiri, balutan usia yang mulai menua menimbulkan kecanggungan dalam romantisme mereka sebagai suami istri. Tetapi, di saat-saat seperti itulah cinta kasih Vico kepada Mery semakin kuat. Hampir setiap hari Vico menyuapi sang istri untuk makan. Mery pun hanya bisa mengucapkan terima kasih yang terkadang disertai derai air mata. Sesungguhnya Mery tidak suka disuap, namun ia tidak tega mengungkapkannya tatkala melihat senyum yang mengembang di wajah Vico ketika menyuapinya. Terlebih lagi senyum tersebut semakin mengembang ketika Mery mengunyah makanan sambil mencoba tersenyum.
Segala hal dilakukan Vico dalam menjalani tanggung jawab sebagai seorang ayah sekaligus sebagai suami. Setiap Mery minta maaf atas hal itu, selalu ada respons yang sama dari Vico, yaitu tersenyum yang membahasakan kerelaannya. Hal itu berlangsung sampai beberapa tahun. Mery pun heran dengan sikap Vico ini. Dengan memberanikan diri, suatu kali Mery pun menanyakan mengapa Vico masih tetap bisa mencintai dan menerima keberadaannya.
Vico pun dengan tenang menjawab, “Awalnya aku sulit menerima keadaan ini. Tetapi, semuanya berubah. Kekuatan cinta telah merubah persepsi dan rasaku terhadap engkau meski dalam keadaan apa pun. Itu sebabnya, aku masih di sini untuk setia.”
Mery menitikkan airmata dan terharu mendengar apa yang dikatakan oleh Vico suaminya. Pada akhirnya, kekuatan cinta kasih dan kesetiaan Vico turut mendukung kesembuhan Mery dan menyangkal vonis dokter itu.
Saat situasi berubah beriringan dengan hal-hal yang tidak diinginkan, bisakah kita tetap setia pada pasangan kita? Janganlah kesetiaan kita ditentukan oleh keadaan, tetapi tentukanlah kesetiaan kita oleh cinta kasih. Ingatlah selalu:
“Sifat yang diinginkan pada seseorang ialah kesetiaannya.”
“Bapa di Sorga, berilah kemampuan kepadaku untuk tetap setia dan mengasihi pesanganku tatkala melalui suka maupun duka. Dalam nama Tuhan Yesus aku berdoa dan memohon. Amin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar